Skip to main content

Featured

Motor listrik driver online

Selasa, 04 Februari 2025 Pagi yang Terlambat Diciptakan Pagi itu, sekitar pukul tujuh, awan datang berarak seperti ada yang sengaja memanggilnya dari balik langit. Aku bersiap pergi bekerja—menunaikan kewajiban sebagai karyawan, juga sebagai manusia yang masih butuh makan, masih tunduk pada isi kepala yang rakus akan keinginan-keinginan. Kewajiban itu, lama-lama, tak lagi terasa mulia. Ia berubah menjadi kebutuhan. Dan kebutuhan selalu lebih buas dari niat baik.   "Bekerja adalah salah satu cara untuk menunjukan bahwa kita bukanlah ciptaan Tuhan yang gagal"   Aku naik Transjakarta —angkutan murah yang jadi penebus dosa para pekerja kelas menengah ke bawah seperti aku. Setiap pagi kami menebus waktu dengan ongkos belasan ribu, menukar kesabaran dengan bau keringat dan suara klakson yang seperti anjing-anjing lapar. Belum kerja saja, kepala sudah pusing. Tapi ya begitulah: kesal selalu kalah oleh kebutuhan. Sampai di halte, aku menunggu. Lima belas menit, dua p...

Abu-abu

Kehidupan, katanya, adalah teka-teki yang tidak bisa diselesaikan beramai-ramai.
Karena hidup itu cuma bisa diselami sendirian,
di kepala yang berisik, di dada yang penuh pertanyaan.

Kadang orang pikir hidup itu soal hasil, padahal dia cuma tentang keberanian menanggung akibat.
Waktu tidak pernah ramah — dia tidak menunggu siapa pun,
tidak menunduk hanya karena kita sedang jatuh.
Dia terus berputar seperti jarum jam yang tidak kenal belas kasihan.
Kalau kita berhenti sejenak, dia pergi tanpa pamit.

Dan hari ini, gua ada di titik di mana semuanya terasa abu-abu.
Nggak hitam, nggak putih.
Cuma samar — seperti langit yang lupa memilih cuaca.
Apa pun yang gua lakukan, selalu aja salah.
Bahkan hal baik pun terasa kayak kesalahan yang belum sempat dihukum.

Gua cuma pengin bikin orang senang. Itu aja.
Tapi dunia kayaknya nggak punya ruang untuk niat sebaik itu.
Gua dianggap aneh, nggak jelas, abu-abu.
Padahal mungkin gua cuma lagi nyari arti di tengah yang kabur.

Gua nulis kayak begini bukan buat ngajarin siapa-siapa.
Gua cuma numpahin isi kepala sebelum dia meledak.
Nulis itu satu-satunya hal yang bikin gua ngerasa hidup —
selain cinta, yang sekarang bahkan udah nggak tahu kabarnya.
Gua nggak pinter nulis, apalagi sastra.
Gua cuma jujur. Dan itu, kadang, udah cukup bikin orang risih.

Kalau lo ngerasa hidup lo udah jelas, berhenti baca di sini.
Tulisan ini bukan buat lo.
Ini buat orang-orang yang masih setengah sadar di dunia yang setengah waras.
Yang masih punya harapan di antara puing-puing kenyataan.

Semua orang mau kaya,
nggak ada yang mau jadi miskin — kecuali Nabi kita, yang sempurna karena tidak butuh dunia.
Tapi kita ini manusia biasa, lapar pada segalanya.
Uang udah kayak Tuhan kecil,
dipuja, dicari, ditakuti.
Dengan uang, orang bisa ngomong sesuka hati,
dengan uang, orang bisa berlagak suci.

Lalu gua di mana?
Di tengah, di antara debu-debu gemerlap dunia.
Masih bingung, masih takut,
tapi juga masih pengen hidup.

Jadi kalau lo ngerasa hidup lo belum beres,
gua juga.
Kalau lo lagi ngerasa dunia nggak adil,
gua juga.
Kalau lo ngerasa udah capek tapi nggak bisa berhenti,
gua juga.

Jalan ini emang rumit, tapi jangan ditambahin simpul sendiri.
Jadi aja diri lo.
Nggak usah muluk-muluk mau dimengerti.
Yang penting lo selesai sama apa yang lo mulai.
Kita bakal ketemu lagi nanti —
di dunia yang mungkin udah nggak abu-abu lagi.

Comments

Popular Posts